A. ADAT ISTIADAT
1. Konsep tentang Manusia Menurut
Falsafah Tengger
Sifat umum di dalam kehidupan sehari-hari orang
Tengger mempunyai kebiasaan hidup sederhana, rajin dan damai. Mereka adalah
petani. Ladang mereka di lereng-lereng gunung dan puncak-puncak yang
berbukit-bukit. Alat pertanian yang mereka pakai sangat sederhana, terdiri dari
cangkul,sabit dan semacamnya. Hasil pertaniannya itu terutama adalah jagung,
kopi, kentang, kubis, bawang prei, Wortel dsb. Kebanyakan mereka bertempat
tinggal jauh dari ladangnya, sehingga harus membuat gubuh-gubuk sederhana di
ladangnya untuk berteduh sementara waktu siang hari. Mereka bekerja sangat
rajin dan pagi hingga petang hari di ladangnya. Pada umumnya masyarakat Tengger
hidup sangat sederhana dan hemat. Kelebihan penjualan hasil ladang ditabung
untuk perbaikan rumah serta keperluan memenuhi kebutuhan rumah tangga lainnya.
Kehidupan masyarakat Tengger sangat dekat dengan adat- istiadat yang telah
diwariskan oleh nenek moyangnya secara turun-temurun. Dukun berperan penting
dalam melaksanakan upacara Adat. Dukun berperan dalam segala pelaksanaan adat,
baik mengenai perkawinan, kematian atau kegiatan-kegiatan lainnya. Dukun
sebagai tempat bertanya untuk mengatasi kesulitan ataupun berbagai masalah
kehidupan.
Kehidupan pada masyarakat Tengger penuh dengan
kedamaian dan kondisi masyarakatnya sangat aman. Segala masalah dapat
diselesaikan dengan mudah atas peranan orang yang berpengaruh pada masyarakat
tersebut dengan sistem musyawarah.
Pelanggaran yang dilakukan cukup diselesaikan oleh
Petinggi (Kepala Desa) dan biasanya mereka patuh. Apabila cara ini tidak juga
menolong, maka si pelaku pelanggaran itu cukup disatru (tidak diajak bicara)
oleh seluruh penduduk. Mereka juga sangat patuh dengan segala peraturan
pemerintah yang ada, seperti kewajiban membayak pajak, kerja bakti dan
sebagainya.
2. Bahasa Suku Tengger
Bahasa daerah yang digunakan adalah bahasa
Jawa yang masih berbau Jawa Kuno. Mereka menggunakan dua tingkatan bahasa yaitu
ngoko, bahasa sehari-hari terhadap sesamanya, dan krama untuk komunikasi
terhadap orang yang lebih tua atau orang tua yang dihormati. Pada masyarakat
Tengger tidak terdapat adanya perbedaan kasta, dalam arti mereka berkedudukan
sama.
Contoh:
Aku ( Laki-laki) = Reang , Aku ( wanita ) = Isun , Kamu ( untuk seusia)= Sira ,
Kamu ( untuk yang lebih tua) = Rika, Bapak/Ayah= Pak , Ibu = Mak , Kakek=Wek ,
Kakak= Kang , Mbak= Yuk
Asal-Usul Manusia menurut Falsafah Tengger
Ajaran
tentang asal-usul manusia adalah seperti terdapat pada mantra purwa bhumi.
Sedangkan tugas manusia di dunia ini dapat dipelajari melalui cara masyarakat
Tengger memberi makna kepada aksara Jawa yang mereka kembangkan. Adapun makna
yang dimaksudkan adalah seperti tersebut dibawah ini:
- h.n.c.r.k
: hingsun nitahake cipta, rasa karsa,
- d,t,s,w,l
: dumadi tetesing sarira wadi laksana,
- p,
dh, j, y, ny : panca dhawuh jagad yekti nyawiji,
- m,
g, b, th, ng : marmane gantia binuka thukul ngakasa.
Apabila
diartikan secara harfiah kurang lebih sebagai berikut: Tuhan Yang Maha Esa
menciptakan cahaya, rasa dan kehendak pada manusia, (manusia) dijadikan melalui
badan gaib untuk melaksanakan lima perintah di dunia dengan kesungguhan hati,
agar saling terbuka tumbuh (berkembang) penuh kebebasan (ngakasa menuju alam
bebas angkasa).
Pada
hakikatnya manusia adalah ciptaan Tuhan, yang dilahirkan dari tidak ada menjadi
ada atau dari alam gaib, untuk mengemban tugas di dunia ini melaksanakan lima
perintah-Nya dengan menyatukan diri pada tugasnya, agar di dunia ini tumbuh
keterbukaan dan perkembangan menuju kesempurnaan.
Masih
ada lagi tafsiran tentang aksara Jawa yang dikaitkan dengan cerita tentang Aji
Saka, yaitu bahwa ada utusan, yang keduanya saling bertengkar (berebut
kebenaran). Keduanya sama kuatnya (sama-sama berjaya), yang akhirnya keduanya
mengalami nasib yang sama, yaitu menjadi mayat. Hal ini mengandung makna bahwa
baik-buruk, senang-susah, sehat-sakit, adalah ada pada manusia dan tak dapat
dihindari. Kesempurnaan hidup manusia apabila dapat menyeimbangkan kedua hal itu.
3. Hubungan Badan dan Roh Menurut
Falsafah Tengger
Masyarakat
Tengger beranggapan bahwa badan manusia itu hanya merupakan pembungkus sukma
(roh). Sukma adalah badan halus yang bersifat abadi. Jika orang meninggal,
badannya pulang ke pertiwi (bumi), sedangkan sukmanya terbebas dari mengalami
suatu proses penyucian di dalam neraka, dan selama itu mereka mengembara tidak
mempunyai tempat berhenti. Cahaya, api dan air dari arah timur akan melenyapkan
semua kejahatan yang dialami sukma sewaktu berada di dalam badan.
Masyarakat
Tengger percaya bahwa neraka itu terdiri dari beberapa bagian. Bagian terakhir
ialah bagian timur yang disebut juga kawah candradimuka, yang akan menyucikan
sukma sehingga menjadi bersih dan suci serta masuk surga. Hal ini terjadi pada
hari ke-1000 sesudah kematian dan melalui upacara Entas-entas.
4. Hubungan Antar-manusia Menurut
Falsafah Tengger
Sesuai dengan ajaran yang hidup di masyarakat
Tengger seperti terkandung dalam ajaran tentang sikap hidup dengan sesanti
panca setia, yaitu:
- setya budaya artinya, taat, tekun, mandiri;
- setya wacana artinya setia pada ucapan;
- setya semya artinya setia pada janji;
- setya laksana artinya patuh, tuhu, taat;
- setya mitra artinya setia kawan.
Ajaran tentang kesetiaan berpengaruh besar terhadap
perilaku masyarakat Tengger. Hal ini tampak pada sifat taat, tekun bekerja,
toleransi tinggi, gotong-royong, serta rasa tanggung jawab. umpamanya
menunjukkan bahwa pada umumnya mereka bekerja di ladangnya dari jam 6 pagi
sampai jam 6 sore setiap hari secara tekun. Sikap gotong-royongnya terlihat
pula pada waktu mendirikan pendopo agung di Tosari, adalah sebagai hasil jerih
payah rakyat membuat jalan sepanjang 15 km dari Tosari menuju Bromo (tahun
1971-1976). Demikian pula tanggung jawab mereka terhadap lingkungan sosial tercermin
pada kesadaran rakyat untuk ikut serta menjaga keamanan, serta merelakan
sebagian tanahnya apabila terkena pembangunan jalan.
Sifat lain yang positif adalah kemampuan
menyesuaikan diri terhadap perkembangan, yaitu kesediaan mereka untuk menerima
orang asing atau orang lain, meskipun mereka tetap pada sikap yang sesuai
dengan identitasnya sebagai orang Tengger.
Hubungan antara pria dan wanita tercermin pada sikap
bahwa pria adalah sebagai pengayom bagi wanita, yaitu ngayomi, ngayani,
ngayemi, artinya memberikan perlindungan, memberikan nafkah, serta menciptakan
suasana tenteram dan damai.
5.
Sikap
dan Pandangan Hidup Pandangan
tentang Perilaku
Sikap
dan pandangan hidup orang Tengger tercermin pada harapannya, yaitu waras
(sehat), wareg (kenyang), wastra (memiliki pakaian, sandang), wisma (memiliki
rumah, tempat tinggal), dan widya (menguasai ilmu dan teknologi, berpengetahuan
dan terampil). Mereka mengembangkan pandangan hidup yang disebut pengetahuan
tentang watak yaitu:
Ø prasaja
berarti jujur, tidak dibuat-buat apa adanya;
Ø prayoga
berarti senantiasa bersikap bijaksana;
Ø pranata
berarti senantiasa patuh pada raja, berarti pimpinan atau pemerintah;
Ø prasetya
berarti setya;
Ø prayitna
berarti waspada.
Atas
dasar kelima pandangan hidup tersebut, masyarakat Tengger mengembangkan sikap
kepribadian tertentu sesuai dengan kondisi dan perkembangan yang ada. Antara
lain mengembangkan sikap seperti kelima pandangan hidup tersebut, di samping
dikembangkan pula sikap lain sebagai perwujudannya.
Mereka
mengembangkan sikap rasa malu dalam arti positif, yaitu rasa malu apabila tidak
ikut serta dalam kegiatan sosial. Begitu mendalamnya rasa malu itu, sehingga
pernah ada kasus (di Tosari) seorang warga masyarakat yang bunuh diri hanya
karena tidak ikut serta dalam kegiatan gotong-royong.
Sikap
toleransi mereka tercermin pada kenyataan bahwa mereka dapat bergaul dengan
orang beragama lain, ataupun kedatangan orang beragama lain. Dalam keagamaan
mereka tetap setia kepada agama yang telah dimiliki namun toleransi tetap
tinggi, sebab mereka lebih berorientasi pada tujuan, bukan pada cara mencapai
tujuan. Pada dasarnya manusia itu bertujuan satu, yaitu mencapai Tuhan,
meskipun jalannya beraneka warna. Sikap toleransi itu tampak pula dalam hal
perkawinan, yaitu sikap orang tua yang memberikan kebebasan bagi para
putra-putrinya untuk memilih calon istri atau suaminya. Pada dasarnya
perkawinan bersifat bebas. Mereka tetap dapat menerima apabila anak-anaknya ada
yang berumah tangga dengan wanita atau pria yang berlainan agama sekalipun. Namun
dalam hal melaksanakan adat, pada umumnya para generasi muda masih tetap
melakukannya sesuai dengan adat kebiasaan orang tuanya.
Sikap
hidup masyarakat Tengger yang penting adalah tata tentrem (tidak banyak
risiko), aja jowal-jawil (jangan suka mengganggu orang lain), kerja keras, dan
tetap mempertahankan tanah milik secara turun-temurun. Sikap terhadap kerja
adalah positif dengan titi luri-nya, yaitu meneruskan sikap nenek moyangnya
sebagai penghormatan kepada leluhur.
Sikap
terhadap hasil kerja bukanlah semata-mata hidup untuk mengumpulkan harta demi
kepentingan pribadi, akan tetapi untuk menolong sesamanya. Dengan demikian,
dalam masyarakat Tengger tidak pernah terjadi kelaparan. Untuk mencapai
keberhasilan dalam hidup semata-marta diutamakan pada hasil kerja sendiri, dan
mereka menjauhkan diri dari sikap nyadhang (menengadahkan telapak tangan ke
atas).
Masyarakat
Tengger mengharapkan generasi mudanya mampu mandiri seperti ksatria Tengger.
Orang tua tidak ingin mempunyai anak yang memalukan, dengan harapan agar anak
mampu untuk mikul dhuwur mendhem jero, yaitu memuliakan orangtuanya. Sikap
mereka terhadap perubahan cukup baik, terbukti mereka dapat menerima pengaruh
model pakaian, dan teknologi, serta perubahan lain yang berkaitan dengan cara
mereka mengharapkan masa depan yang lebih baik dan berkeyakinan akan datangnya
kejayaan dan kesejahteraan masyarakatnya.
6.
Siklus Hidup Menurut Falsafah Tengger
Ada 3 (tiga) tahap penting siklus kehidupan menurut
pandangan masyarakat Tengger, yakni:
1. umur
0 sampal 21 (wanita) atau 27 (pria), dengan lambang bramacari yaitu masa yang
tepat untuk pendidikan;
2. usia
21 (wanita) atau 27 (pria) sampai 60 tahun lambing griasta, masa yang tepat
untuk membangun rumah dan mandiri;
3. 60
tahun ke atas, dengan lambang biksuka, membangun diri sebagai manusia usia
lanjut untuk lebih mementingkan masa akhir hidupnya.
Pada
masa griasta ada ungkapan yang berbunyi kalau masih mentah sama adil, kalau
sudah masak tidak ada harga, yang dimaksudkan adalah hendaklah manusia itu pada
waktu mudanya bersikap adil dan masa dewasa menyiapkan dirinya untuk masa
tuanya dan hari akhirnya.
7. Pertunangan dan Perkawinan
Pada
umumnya masyarakat Tengger mempunyai pendirian yang cukup bermoral atas
perkawinan. Poligami dan perceraian boleh dikatakan tidak pernah terjadi.
Perkawinan di bawah umur juga jarang terjadi. Dalam pertunangan (pacangan),
lamaran dilakukan oleh orangtua pria. Sebelumnya didahului dengan pertemuan
antara kedua calon, atas dasar rasa senang kedua belah pihak. Apabila kedua
belah pihak telah sepakat, maka orangtua pihak wanita (sebagai calon)
berkunjung ke orangtua pihak pria untuk menanyakan persetujuannya atau notok.
Selanjutnya apabila orangtua pihak pria telah menyetujui, diteruskan dengan
kunjungan dari pihak orangtua pria untuk menyampaikan ikatan (peningset) dan
menentukan hari perkawinan yang disetujui oleh kedua belah pihak. Sesudah itu
barulah upacara perkawinan dilakukan.
Sebelum
acara perkawinan biasanya telah dimintakan nasihat kepada dukun mengenai kapan
sebaiknya hari perkawinan itu dilaksanakan. Dukun akan memberikan saran
(menetapkan) hari yang baik dan tepat, papan tempat pelaksanaan perkawinan, dan
sebagainya. Setelah hari untuk upacara perkawinan ditentukan, maka diawali
selamatan kecil (dengan sajian bubur merah dan bubur putih). Sebagai
kelengkapan upacara perkawinan, maka pasangan pengantin diarak (upacara ngarak)
keliling, diikuti oleh empat gadis dan empat jejaka dengan diiringi gamelan.
Pada upacara perkawinan pengantin wanita memberikan hadiah bokor tembaga berisi
sirih lengkap dengan tembakau, rokok dan lain, sedangkan pengantin pria
memberikan hadiah berupa sebuah keranjang berisi buah-buahan, beras dan mas
kawin.
Pada
upacara asrah pengantin, masing-masing pihak diwakili oleh seorang utusan. Para
wakil mengadakan pembicaraan mengenai kewajiban dalam perkawinan dengan
disaksikan oleh seoran dukun. Pada upacara pernikahan dibuatkan petra (petara:
boneka sebagai tempat roh nenek moyang) supaya roh nenek moyangnya bisa hadir
menyaksikan. Biasanya setelah melakukan perkawinan kemanten pria harus tinggal
dirumah (mengikuti) kemanten wanita.
8. Hak Waris
Pada
dasarnya masyarakat Tengger mempertahankan hak waris tanah untuk anak keturunan
mereka saja. Apabila ada keluarga yang terpaksa menjual hak tanah, diusahakan
untuk dibeli oleh keluarga yang terdekat. Pewarisan kepada anak-turunannya
ditentukan oleh kerelaan pihak orang tua, bukan atas dasar aturan ketat yang
dibakukan.
9. Tata Rumah
Rumah
penduduk Tengger dibangun di atas tanah, yang sedapat mungkin dipilih pada
daerah datar, dekat air, atau kalau terpaksa dipilih tanah yang dapat dibuat
teras, dan jauh dan gangguan angi. Rumah-rumah letaknya berdekatan atau
menggerombol pada suatu tempat yang dapat dimasuki dan berbagaf jurusany yang
dihubungkan dengan jalan sempit atau gak lebar antara satu desa dengan desa
lain. Desa induk yang disebut Jcrajan biasa-nya terletak di tengah dengan
jaringan jalan-jalan yang menghubungkan dengan desa lain. Pembangunan sebuah
rumah selalu diawali dengan selamatan, demikiah pula apabila bangunan telah
selesai diadakan selamatan lagi. Pada setiap bangunan yang sedang dikejakan
selalu terdapat sesajen, yang digantungkan pada tiang-tiang, berupa makanan,
ketupat, lepet, pisang raja dan lain-lain. Bangunan rumah orang Tengger
biasanya luas sebab pada umumnya dihuni oleh beberapa keluarga bersama-sama,
Ada kebiasaan bahwa seorang pria yang baru saja kawin akan tinggal bersama
mertuanya. Tiang dan dinding rumahnya terbuat dan kayu dan atapnya terbuat dan
bambu yang dibelah. Setelah bahan itu sulit diperoleh, dewasa ini masyarakat
telah mengubah kebiasaan itu dengan menggunakan atap dan seng, papan atau
genteng.
Alat
rumah tangga tradisional yang hingga sekarang pada umumnya masih tetap ada
adalah balai-balai, semacam dipan yang ditaruh di depan rumah. Di dalam ruangan
rumah itu disediakan pula tungku perapian (pra pen) yang terbuat dan batu atau
semen. Perapian ini kurang lebih panjangnya 1/4 dari panjang ruangan yang ada.
Di dekat perapian terdapat tempat duduk pendek terbuat dari kayu (dingklik bhs
jawa) yang meliputi kurang lebih separuh dan seluruh ruangan. Apabila seorang
tamu di terima dan dipersilakan duduk di tempat ini menunjukkan bahwa tamu
tersebut diterima dengan hormat.
Selain
digunakan untuk penghangat tubuh bagi penghuni rumah, perapian juga dimanfaatkan
untuk mengeringkan jagung, atau bahan makan lainnya yang memerlukan pengawetan
dan ditaruh di atas paga. Dekat tempat perapian itu terdapat pula alat-alat
dapur, lesung, dan tangga. Halaman rumah mereka pada umumnya sempit (kecil) dan
tidak ditanami pohon-pohonan. Di halaman itu pula terdapat sigiran, tempat
untuk menggantungkan jagung yang belum dikupas. Selain itu, sigiran
dimanfaatkan untuk menyimpan jagung, sehingga juga berfungsi sebagai lumbung
untuk menyimpan sampai
panen mendatang.
B. KEBUDAYAAN MASYARAKAT TENGGER
1. Agama
Masyarakat suku tengger
Agama
masyarakat suku Tengger adalah agama hindu yang masih mewarisi tradisi hindu
sejak zaman kejayaan majapahit. Namun saat ini juga masyarakat tersebut yang
menganut agama lain yaitu: Islam, Kristen Protestan, Khatolik serta Budha.
Walaupun orang Tengger beragama Hindu, mereka tidak dapat dapat dianggap
sebagai kelompok etnis berbeda dari orang jawa yang lain. Mereka adalah orang
Hindu tetapi tidak melakukan pembakaran mayat seperti orang Hindu di Bali.
Namun demikian, selama sejarah manusia Tengger daerahnya dikurangi oleh orang
pendatang yang beragama Islam dari daerah lain di Jawa. Sampai tengah abad 19
kebanyakan desa-desa Tengger lebih rendah dari 1400m dikuasai oleh pendatang
yang beragama Islam. Upacara yang terkenal adalah upacara kasada terkenal hingga
manca Negara dan selalu ramai dihadiri banyak turis luar negeri maupun lokal.
2. Upacara
Keagamaan Masyarakat Suku Tengger
a. Pujan
Karo (Bulan Karo)
Upacara Karo
Hari
raya terbesar masyarakat Tengger adalah upacara karo atau hari raya karo
diawali tanggal 15 kalender saka Tengger. Masyarakat menyambutnya dengan penuh
suka cita, mereka mengenakan pakaian baru, kadang pula membeli pakain hingga
2-5 pasang, perabotan pun juga baru. Makanan dan minuman pun juga melimpah pada
adat ini masyarakat suku tengger juga melakukan anjang sana (silaturrahmi)
kepada semua sanak saudara, tetangga semua masyarakat Tengger. Uniknya tiap
kali berkunjung harus menikamati hidangan yang diberikan oleh tuan rumah.
Tujuan penyelenggaraan upacara karo ini adalah: mengadakan pemujaan terhadap
Sang Hyang Widhi Wasa dan menghormati leluhurnya, memperingati asal-usul
manusia, untuk kembali pada kesucian, dan untuk memusnahkan angkara murka.
b. Pujan
Kapat (Bulan Keempat)
Upacara
kapat jatuh pada bulan keempat (papat) menurut tahun saka disebut pujan kapat,
bertujuan untuk memohon berkah keselamatan serta selamat kiblat, yaitu pemujaan
terhadap arah mata angin yang dilakukan bersama- sama disetiap desa (rumah
kepala desa) yang dihadiri para pini sepuh desa, dukun, dan masyarakat desa.
c.
Pujan Kapitu (Bulan Tujuh)
Pujan
kapitu (bulan tujuh), semua pini sepuh desa dan keharusan pandita dukun
melakukan tapa brata dalam arti diawali dengan pati geni (nyepi) satu hari satu
malam, tidak makan dan tidak tidur. Selanjutnya diisi dengan puasa mutih (tidak
boleh makan makanan yang enak), biasanya hanya makan nasi jagung dan daun –
daunan selama satu bulan penuh. Setelah selesai ditutup satu hari dengan pati
geni. Pada bulan kapitu ini masyarakat suku tengger tidak diperbolehkan
mempunyai hajat.
d. Pujan
Kawolu
Upacara
ini jatuh pada bulan kedelapan (wolu) tanggal 1 tahun saka. Pujan kawolu
sebagai penutipan megeng. Masyarakat mengirimkan sesaji ke kepala desa, dengan
tujuan untuk keselamatan bumi, air, api, angin, matahari, bulan dan bintang.
Pujan kawolu dilakukan bersama dirumah kepala desa.
e. Pujan
Kasangan
Upacara
ini jatuh pada bulan kesembilan (sanga) tanggal 24 setelah purnama tahun saka.
Masyarakat berkeliling desa dengan membunyikan kenyongan dan membawa obpr.
Upacara diawali oleh para wanita yang mengantarkan sesaji ke kepal desa, untuk
dimantrai oleh pendeta, selanjutnya pendeta dan para sesepuh desa membentuk
barisan, berjalan mengelilingi desa. Tujuan mengadakan upacara ini adalah memohon
kepada Sang Hyang Widi Wasa untuk keselamatan masyarakat tengger. Masyarakat
bersama anak – anak keliling desa membawa alat kesenian dan obor.
f.
Kasada (Bulan Dua Belas)
Upacara
kasada dilaksanakan tnggal 14 dan 15 dilakukan di ponten pure luhur, semua
masyarakat tengger berkumpul menjelang pagi. Tidak hanya masyarakat Tengger
yang beragama Hindu saja, tetapi semua masyarakat Tengger yang beragama
lainnya. Setelah upacara, melabuhkan sesaji berupa hasil bumi yang sudah
dimantrai dukun kekawah gunung Bromo. Tidak hanya upacara saja tetapi juaga
bermusyawarah dan bersilaturrahmi dengan dukun dan masyarakat Tengger. Upacara
dilaksanakan pada saat purnama bulan kasada (ke dua belas) tahun saka, upacara
ini juga disebut dengan hari Raya Kurba. Biasanya lima hari sebelum upacara
Yadnya kasada, diadakan berbagai tontonan seperti: tari-tarian, balapan kuda di
lautan pasir, jalan santai, pameran. Sekitar pukul 05.00 pendeta dari
masing-masing desa, serta masyarakat tengger mendaki gunung Bromo untuk
melempar kurban (sesaji) ke kawah gunung bromo. Setelah pendeta melempar
ongkeknya (tempat sesaji) baru diikuti oleh masyarakat lainnya.
g. Upacara
Unan-unan
Upacara
ini di adakan hanya tiap lima tahun sekali. Unan-unan adalah tahun panjang
(seperti tahun kabisat) melakukan upacara ngurawat jagat, mensucikan hal-hal
yang tidak baik dengan mengorbankan kerbau. Unan yaitu menagrungi bulan. Tujuan
unan-unan yaitu untuk mengadaksn penghormatan terhadap roh leluhur. Dalam acara
ini selalu diadakan acara penyembelihan binatang ternak yaitu kerbau. Kepala
kerbau dan kulitnya diletakkan diatas ancak besar yang terbuat dari bambu,
diarak kesanggar pamujan.
h. Upacara
yang dilakukan secara individu:
1)
Upacara tujuh bulanan (sayut) dipimpin oleh
pandita dukun.
2)
Upacara indungi anak, anak yang menginjak
masa remaja.
3)
Upacara Tugel Gombak (laki-laki) dan Tugel
Kuncung (perempuan), memotong sedikit rambut sekitar pusar rambut anak-anak
yang menginjak usia 5 tahun.
4)
Upacara Ngruwat, jika ada saudara 2 laki-laki
atau salah satu anak laki-laki dan perempuan atau anak tunggal.
5)
Upacara Kawiahan (kawin), upacara ini sama
halnya dengan ijab Kabul.
6)
Upacara Wala gara (Temu Manten).
7)
Upacara Mendirikan Rumah.
8)
Upacara Kematian, minimal 4 hari setelah
meningggal dilakukan upacara untas-untas (roh orang meningggal diharapkan
kembali pada pemiliknya).
i.
Upacara Entas – Entas
Yakni
upacara kematian yang terakhir kali dan perkawinan. “Waktu sekarang ini
merupakan hari-hari baik bagi masyarakat Tengger untuk melaksanakan entas-entas
dan perkawinan. Upacara entas-entas oleh masyarakat Tengger seperti halnya
upacara pembakaran mayat (Ngaben) di Bali. Bedanya, di masyarakat Tengger yang
dibakar adalah boneka dari yang meninggal dunia.
3. Tempat
Keagamaan Masyarakat Suku Tengger
Pemeluk
agama Hindu suku Tengger tidak sama dengan pemeluk agama Hindu pada umumnya,
mereka memiliki candi-candi tempat peribadatan, namun bila melakukan
peribadatan bertempat di Punden, danyang dan Poten. Poten merupakan sebidang
lahan di lautan pasir sebagai tempat berlangsungnya upacara kasada. Sebagai
tempat pemujaan bagi masyarakat Tengger yang beragama Hindu, Poten terdiri dari
beberapa bangunan yang ditata dalan suatu susunan komposisi dipekarangan yang
dibagi tiga mandala/zone yaitu:
a. Mandala
utama
Disebut
juga jeroan yaitu tempat pelaksanaan pemujaan persembahyangan yang terdiri
dari:
· Padma
berfungsi sebagai tempat pemujaan Tuhan Yang Maha Esa. Bentuknya serupa candi
yang dikembangkan lengkap dengan pepalihan.
· Bedawang
Nala melukisakan kura-kura raksasa mendukung padmasana, dibelit oleh seekor
atau dua ekor naga, garuda dan angsa posisi terbang di belakang badan padma
yang masing-masing menurut mitologi melukiskan keagungan bentuk dan fungsi
padmasana.
· Bangunan
sekepat (tiang empat) fungsinya untuk penyajian sarana upacara atau aktifitas
serangkaian upacara. Bale pawedan serta tempat dukun sewaktu melakukan
pemujaan.
· Kori
Agung Candi Bentar, bentuknya mirip dengan tugu kepalanya memakai gelung mahkota
segi empat yang bertingkat- tingkat mengecil ke atas.
b. Mandala
madya
Disebut
juga jaba tengah, tempat persiapan dan pengiring upacara terdiri dari:
· Kori
Agung Candi Bentar, bentuknya serupa dengan tugu, kepalanya memakai gelung
empat bertingkat-tingkat mengecil ke atas dengan bangunan bujur sangkar.
· Bale
kentongan letaknya disudut depan pekarangan pura, bentuknya ssusunan tepas,
batur, sari dan atap penutup ruangan kentongan. Fungsinya untuk tempat
kentongan yang dibunyikan di awal, akhir dan saat tertentu dari rangkaian
upacara.
· Bale
bengong, disebut juga pawerangan suci letaknya diantara jaba tengah, mandala
nista. Bentuk bangunannya empat persegi. Fungsinya untuk mempersiapkan
keperluan sajian upacara yang perlu dipersiapkan di pura yang umumnya jauh dari
desa tempat pemukiman.
c.
Mandala Nista
Disebut
juga jaba sisi yaitu tempat peralihan dari luar kedalam pura yang terdiri dari
bangunan candi bentar penunjang lainnya. Pekarangan pura dibatasi oleh tembok
penyengker batas pekarangan pintu masuk di depan dan pitu masuk ke jeroan utama
memaki kori Agung. Tembok penyengker candi bentar dan kori agung ada berbagai
bentuk variasi dan kreasinya sesuai dengan keindahan arsitekturnya. Bangunan
pura pada umumnya menghadap ke barat, memasuki pura menghadap ke arah timur
demikian pula pemujaan dan persembahyangan menghdap kea rah timur kea rah
yrbitnya matahari. Komposisi masa – masa bangunan pura berjajar antara selatan
menghadap ke barat dan sebagian di sisi utara menghadap selatan (menurut
bpk.Soedja’i).
d. Posesi
Upacara Kasada
Upacara
ini dilaksanakan setahun sekali oleh masyarakat hindu tengger yang mendiami 41
desa pada 4 kecamatan di Probolinggo, Lumajang, Malang, dan Pasuruan. Upacara
kasada diadakan mulai tengah malam hingga dini hari, dan persiapannya
dilaksanakan sejak 24.00 WIB bergerak mulai di depan rumah dukun (pendeta)
Mujono, dan sampai ke pantai p[asir di pura Agung Puten kira-kira pukul 04.00
WIB. Menjelang menjelang matahari terbit yang disebut dengan Surya Serwana.
Pada pukul 05.00 WIB upacara kasada dilaksanakan dengan terlebih dahulu
dilakukan ritual di pura puten yang dilnjutkan turun menuju kawah gunung Bromo
yang berjarak 2 km untuk melakukan ritual sesaji yang terdiri dari dua unsur
penting, yaitu kepala bungkah dan kepala gantung. Kepal bungkah itu artinya
buah-buahan yang berasal dari tanah seperti kentang dan ketela, serta kepala
gantung yaitu buah-buahan yang bergantung. Ritual sesaji itu merupakan
sesembahan sebagai ciri utama kehidupan dari masyarakat tengger, kecuali ada
secara spesifik yang memiliki permohonan khusus, biasanya korbannya yaitu ayam
atau kambing ini, yang khusus mau jadi pejabat. Pada pengambilan sesajen para
pengambil sesajen memakai gala dari kain goni, banyak tamu yang melemparkan
sesajen ke kawah gunung bromo. Namun adapula yang mengambil uang ke dalam kawah
tersebut. Pada upacara kasada petani juga melemparkan hasil pertaniaanya ke
dalam kawah. Orang yang mengambil lemparan tidak boleh hanya mengambil satu
kali, tetapi harus tujuh kali berturut-turut. Apabila melanggar maka orang
tersebut mendapatkan musibah, seperti sakit. Cara penyembuhannya adalah dengan
cara meminta maaf dan juga membuat acara ruwatan (bpk. Sugik).
e. Dukun
Masyarakat Suku Tengger
Dukun
tengger berbeda dengan dukun Jawa yang lain, mereka mempunyai tujuan menjaga
kebudayaan dan melakukan upacara-upacara tradisional. Dalam setiap desa Tengger
ada dukun diatas mereka ada satu dukun yang mengurus semua acara keagamaan,
bernama “Lurah Dukun”. Walaupun agama masyarakat Tengger masih kuat, saat ini
dalam desa-desa Tengger juga ada penduduk beragama Islam dan Kristen. Lurah
Dukun dirumahnya melakukan semeninga. Semeninga itu adalah prsiapan untuk
upacara-upacara bertujuan untuk beritahu para dewa-dewa sesaji akan dimulai.
Kemudian satu hari setelah itu baru sebelum para dukun turun sampai LAut Pasir
mereka melakukan semeninga lagi. Kemudian para dukun berjalan sampai potenyang
terletak di kaki Gunung Bromo. Sementara massa berkumpul di Laut Pasir sekitar
Poten itu siap untuk memulai upacaranya. Pada tengah malam upacara Kasada mulai
dengan Lurah Dukun menceritakan tentang Legenda Kasada dan berdoa kepada dewa
Gunung Bromo dan dewa Kusuma. Pula kalau ada dukun baru dia akan diresmikan
oleh dukun lainnya pada saat itu. Pemilihan dukun baru dengan cara demokrasi,
dukun yang baru tersebut merupakan dukun yang dipilih yang sudah banyak hafal
mantra keagamaan.
f.
Legenda Kasada
Gunung
Bromo tidak dapat dipisahkan dari sistem kepercayaan mastarkat suku Tengger.
Legenda kasada adalah merupakan cikal bakal rakyat Tengger dan menggambarkan
hubungan manusia dan makhluk halus gunung Bromo. Dalam legenda kasada makhluk
halus gunung Bromo tidak memilki namA sendiri tetapi di panggil oleh nama Sang
Yang Widhi. Cikal bakal Tengger dalam ceritanya digambarkan sebagai asal –
usulnya dari kerajaan majapahit dari sebelum keturunan kerajaan Hindu-Budha di
jawa. Tujuan legenda kasada adalah bahwa suatu nenek monyang Tengger bernama
“Dewa Kusuma” anak dari “Joko Seger” dan “Rara Anteng” mengorbankan jiwanya
untuk keluarganya dan orang Tengger. Akibatnya adalah perjanjian di antara roh
leluhur “Dewa Kusuma”dan orang Tengger untuk memberi sesajian setiap tanggal 14
bulan kasada dalam ketanggalan Tengger. Upacara sesajian itu bernama “Upacara
Kasada” dan diikuti oleh orang Tengger satu tahun sekali sampai sekarang. Dalam
permulaan legenda kasada ada tiga peran pokok. Yang pertama bernama ‘Kyai Dadap
Putih’ suatu dukun dari kerajaan majapahit. Dia datang ke daerah Tengger
bertujuan bersemedi. Peran yang kedua adalah orang perempuan muda bernam “Rara
Anteng” pula datang dari kerajaan majpahit.dia datang ke daerah Tengger untuk
mencari ayahnya yang menjadi hilang dan sambil semedi di gunungnya. Peran
ketiga adalah “‘Joko Seger” orang dari desa di daerah gunungnya. Dia pula
mencari orang, pamannya yang hilang sambil semedi di gunungnya. “Kyai Dadap
Putih” bertemu dengan “Rara Anteng” dan mengangkat dia sebagai anaknya. Saat
“Rara Anteng” bersemedi dia bertemu dengan “Joko Seger” .(diceritakan oleh
Bpk.Soedja’i)
4. Pusaka yang di miliki oleh Suku
Tengger
Jimat
Klonthongan / Jodang Wasiat
Jimat
Klonthong / Jodang wasiat jumlahnya ada dua, yang pertama disimpan oleh
masyarakat Suku Tengger Brang Wetan tepatnya di Desa Ngadisari Kecamatan
Sukapura Kabupaten Probolinggo.bentuknya berupa kotak terbuat dari kayu.Sedang
Jimat Klonthong / Jodang Wasiat yang kedua disimpan di wilayah Brang Kulon
yaitu di Desa Tosari Kecamatan Tosari Kabupaten Pasuruan dan bentuknya berbeda
dengan yang ada di wilayah brang wetan yaitu berbentuk bumbung terbuat dari
kayu.
Kedua Jimat Klonthong / Jodang Wasiat tersebut merupakan benda warisan nenek
moyang ( Joko Seger dan Loro Anteng ) berisi gayung, sarak, sodar, tumbu,
cepel, Ontokusumo sejenis pakaian nenek moyang, dan sejumlah uang satak (uang
logam kuno). Termasuk mantra-mantra yaitu mantra Purwobumi dan mantra Mandala
Giri.
Lontar (keropak)
Di
Tengger masih terdapat lontar (keropak) sebanyak 21 ikat, berisi tulisan Jawa
lama, yang orang Tengger sendiri tidak bisa membacanya.
Pusaka TRISULA yaitu berbentuk Tombak yang mempunyai ujung mata tiga.
5.
Peralatan
Upacara
Baju
Adat Tengger Hitam, sehelai kain baju tanpa jahitan,Udeng dan kain Selempang
berwarna kuning. Hal ini sesuai dengan yang diperoleh sebagai warisan dari
nenek moyang Suku Tengger. Prasen, berasal dari kata rasi atau praci
(Sansekerta) yang berarti zodiak. Prasen ini berupa mangkuk bergambar binatang
dan zodiak. Beberapa prasen yang dimiliki oleh para dukun berangka tahun Saka:
1249, 1251, 1253, 1261; dan pada dua prasen lainnya terdapat tanda tahun Saka
1275. Tanda tahun ini menunjukkan masa berkuasanya pemerintahan Tribhuwana
Tunggadewi di Majapahit. Tali sampet, terbuat dari kain batik, atau kain
berwarna kuning yang dipakai oleh Dukun Tengger.
Genta, keropak dan prapen, sebagai pelengkap upacara.
Mencicipi Nikmatnya Nasi Aron, Makanan Khas Suku Tengger
Sepertinya pesona keindahan
Gunung Bromo yang
ada di Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur itu sudah tidak bisa
terbantahkan lagi bahkan banyak orang dari berbagai belahan dunia telah
membuktikan keindahannya. Tapi sepertinya tidak lengkap rasanya jika
berkunjung ke Gunung Bromo hanya menikmati keindahan saja, hal lain yang
perlu dilakukan saat berada di Bromo adalah mencicipi nikmatnya nasi
aron yang merupakan makanan asli
Suku Tengger yang mendiami wilayah Tengger.
Walaupun makanan ini bernama nasi aron, tapi ternyata bahan utama
pembuat nasi aron bukan berasal dari beras melainkan jagung putih yang
hanya bisa ditemukan di sekitar Gunung Bromo. Jagung tersebut harus
dijemur dulu selama satu bulan sebelum diolah menjadi nasi aron. Setelah
kering jagung tersebut kemudian dipipil dan ditumbuk sampai halus.
Proses terakhir adalah dengan menyaring jagung sampai terpilih jagung
yang benar-benar halus untuk dimasak menjadi nasi aron.
Cara memasak nasi aron juga masih menggunakan cara tradisional. Nasi
aron dimasak menggunakan tungku yang masih menggunakan kayu bakar
sebagai perapiannya. Setelah matang, nasi aron dipotong menjadi
kotak-kotak. Nasi aron disajikan bersama dengan lauk pauk yang sangat
sederhana ala pedesaan seperti sambal terasi, ikan asin, dadar jagung,
tempe, dan juga tahu goreng. Nasi aron lebih lezat jika disantap saat
masih panas.
Tertarik? Salam traveler sejati!