Rabu, 24 September 2014

budaya suku tengger

A.     ADAT ISTIADAT
1.        Konsep tentang Manusia Menurut Falsafah Tengger
Sifat umum di dalam kehidupan sehari-hari orang Tengger mempunyai kebiasaan hidup sederhana, rajin dan damai. Mereka adalah petani. Ladang mereka di lereng-lereng gunung dan puncak-puncak yang berbukit-bukit. Alat pertanian yang mereka pakai sangat sederhana, terdiri dari cangkul,sabit dan semacamnya. Hasil pertaniannya itu terutama adalah jagung, kopi, kentang, kubis, bawang prei, Wortel dsb. Kebanyakan mereka bertempat tinggal jauh dari ladangnya, sehingga harus membuat gubuh-gubuk sederhana di ladangnya untuk berteduh sementara waktu siang hari. Mereka bekerja sangat rajin dan pagi hingga petang hari di ladangnya. Pada umumnya masyarakat Tengger hidup sangat sederhana dan hemat. Kelebihan penjualan hasil ladang ditabung untuk perbaikan rumah serta keperluan memenuhi kebutuhan rumah tangga lainnya. Kehidupan masyarakat Tengger sangat dekat dengan adat- istiadat yang telah diwariskan oleh nenek moyangnya secara turun-temurun. Dukun berperan penting dalam melaksanakan upacara Adat. Dukun berperan dalam segala pelaksanaan adat, baik mengenai perkawinan, kematian atau kegiatan-kegiatan lainnya. Dukun sebagai tempat bertanya untuk mengatasi kesulitan ataupun berbagai masalah kehidupan.
Kehidupan pada masyarakat Tengger penuh dengan kedamaian dan kondisi masyarakatnya sangat aman. Segala masalah dapat diselesaikan dengan mudah atas peranan orang yang berpengaruh pada masyarakat tersebut dengan sistem musyawarah.
Pelanggaran yang dilakukan cukup diselesaikan oleh Petinggi (Kepala Desa) dan biasanya mereka patuh. Apabila cara ini tidak juga menolong, maka si pelaku pelanggaran itu cukup disatru (tidak diajak bicara) oleh seluruh penduduk. Mereka juga sangat patuh dengan segala peraturan pemerintah yang ada, seperti kewajiban membayak pajak, kerja bakti dan sebagainya.
2.       Bahasa Suku Tengger
Bahasa daerah yang digunakan adalah bahasa Jawa yang masih berbau Jawa Kuno. Mereka menggunakan dua tingkatan bahasa yaitu ngoko, bahasa sehari-hari terhadap sesamanya, dan krama untuk komunikasi terhadap orang yang lebih tua atau orang tua yang dihormati. Pada masyarakat Tengger tidak terdapat adanya perbedaan kasta, dalam arti mereka berkedudukan sama.
Contoh: Aku ( Laki-laki) = Reang , Aku ( wanita ) = Isun , Kamu ( untuk seusia)= Sira , Kamu ( untuk yang lebih tua) = Rika, Bapak/Ayah= Pak , Ibu = Mak , Kakek=Wek , Kakak= Kang , Mbak= Yuk
Asal-Usul Manusia menurut Falsafah Tengger
Ajaran tentang asal-usul manusia adalah seperti terdapat pada mantra purwa bhumi. Sedangkan tugas manusia di dunia ini dapat dipelajari melalui cara masyarakat Tengger memberi makna kepada aksara Jawa yang mereka kembangkan. Adapun makna yang dimaksudkan adalah seperti tersebut dibawah ini:
-  h.n.c.r.k : hingsun nitahake cipta, rasa karsa,
-  d,t,s,w,l : dumadi tetesing sarira wadi laksana,
-  p, dh, j, y, ny : panca dhawuh jagad yekti nyawiji,
-  m, g, b, th, ng : marmane gantia binuka thukul ngakasa.
Apabila diartikan secara harfiah kurang lebih sebagai berikut: Tuhan Yang Maha Esa menciptakan cahaya, rasa dan kehendak pada manusia, (manusia) dijadikan melalui badan gaib untuk melaksanakan lima perintah di dunia dengan kesungguhan hati, agar saling terbuka tumbuh (berkembang) penuh kebebasan (ngakasa menuju alam bebas angkasa).
Pada hakikatnya manusia adalah ciptaan Tuhan, yang dilahirkan dari tidak ada menjadi ada atau dari alam gaib, untuk mengemban tugas di dunia ini melaksanakan lima perintah-Nya dengan menyatukan diri pada tugasnya, agar di dunia ini tumbuh keterbukaan dan perkembangan menuju kesempurnaan.
Masih ada lagi tafsiran tentang aksara Jawa yang dikaitkan dengan cerita tentang Aji Saka, yaitu bahwa ada utusan, yang keduanya saling bertengkar (berebut kebenaran). Keduanya sama kuatnya (sama-sama berjaya), yang akhirnya keduanya mengalami nasib yang sama, yaitu menjadi mayat. Hal ini mengandung makna bahwa baik-buruk, senang-susah, sehat-sakit, adalah ada pada manusia dan tak dapat dihindari. Kesempurnaan hidup manusia apabila dapat menyeimbangkan kedua hal itu.
3.       Hubungan Badan dan Roh Menurut Falsafah Tengger
Masyarakat Tengger beranggapan bahwa badan manusia itu hanya merupakan pembungkus sukma (roh). Sukma adalah badan halus yang bersifat abadi. Jika orang meninggal, badannya pulang ke pertiwi (bumi), sedangkan sukmanya terbebas dari mengalami suatu proses penyucian di dalam neraka, dan selama itu mereka mengembara tidak mempunyai tempat berhenti. Cahaya, api dan air dari arah timur akan melenyapkan semua kejahatan yang dialami sukma sewaktu berada di dalam badan.
Masyarakat Tengger percaya bahwa neraka itu terdiri dari beberapa bagian. Bagian terakhir ialah bagian timur yang disebut juga kawah candradimuka, yang akan menyucikan sukma sehingga menjadi bersih dan suci serta masuk surga. Hal ini terjadi pada hari ke-1000 sesudah kematian dan melalui upacara Entas-entas.
4.       Hubungan Antar-manusia Menurut Falsafah Tengger
Sesuai dengan ajaran yang hidup di masyarakat Tengger seperti terkandung dalam ajaran tentang sikap hidup dengan sesanti panca setia, yaitu:
- setya budaya artinya, taat, tekun, mandiri; 
setya wacana artinya setia pada ucapan;
-  setya semya artinya setia pada janji;
-  setya laksana artinya patuh, tuhu, taat;
-  setya mitra artinya setia kawan.
Ajaran tentang kesetiaan berpengaruh besar terhadap perilaku masyarakat Tengger. Hal ini tampak pada sifat taat, tekun bekerja, toleransi tinggi, gotong-royong, serta rasa tanggung jawab. umpamanya menunjukkan bahwa pada umumnya mereka bekerja di ladangnya dari jam 6 pagi sampai jam 6 sore setiap hari secara tekun. Sikap gotong-royongnya terlihat pula pada waktu mendirikan pendopo agung di Tosari, adalah sebagai hasil jerih payah rakyat membuat jalan sepanjang 15 km dari Tosari menuju Bromo (tahun 1971-1976). Demikian pula tanggung jawab mereka terhadap lingkungan sosial tercermin pada kesadaran rakyat untuk ikut serta menjaga keamanan, serta merelakan sebagian tanahnya apabila terkena pembangunan jalan.
Sifat lain yang positif adalah kemampuan menyesuaikan diri terhadap perkembangan, yaitu kesediaan mereka untuk menerima orang asing atau orang lain, meskipun mereka tetap pada sikap yang sesuai dengan identitasnya sebagai orang Tengger.
Hubungan antara pria dan wanita tercermin pada sikap bahwa pria adalah sebagai pengayom bagi wanita, yaitu ngayomi, ngayani, ngayemi, artinya memberikan perlindungan, memberikan nafkah, serta menciptakan suasana tenteram dan damai.
 
5.       Sikap dan Pandangan Hidup Pandangan tentang Perilaku
Sikap dan pandangan hidup orang Tengger tercermin pada harapannya, yaitu waras (sehat), wareg (kenyang), wastra (memiliki pakaian, sandang), wisma (memiliki rumah, tempat tinggal), dan widya (menguasai ilmu dan teknologi, berpengetahuan dan terampil). Mereka mengembangkan pandangan hidup yang disebut pengetahuan tentang watak yaitu:
Ø  prasaja berarti jujur, tidak dibuat-buat apa adanya;
Ø  prayoga berarti senantiasa bersikap bijaksana;
Ø  pranata berarti senantiasa patuh pada raja, berarti pimpinan atau pemerintah;
Ø  prasetya berarti setya;
Ø  prayitna berarti waspada.
Atas dasar kelima pandangan hidup tersebut, masyarakat Tengger mengembangkan sikap kepribadian tertentu sesuai dengan kondisi dan perkembangan yang ada. Antara lain mengembangkan sikap seperti kelima pandangan hidup tersebut, di samping dikembangkan pula sikap lain sebagai perwujudannya.
Mereka mengembangkan sikap rasa malu dalam arti positif, yaitu rasa malu apabila tidak ikut serta dalam kegiatan sosial. Begitu mendalamnya rasa malu itu, sehingga pernah ada kasus (di Tosari) seorang warga masyarakat yang bunuh diri hanya karena tidak ikut serta dalam kegiatan gotong-royong.
Sikap toleransi mereka tercermin pada kenyataan bahwa mereka dapat bergaul dengan orang beragama lain, ataupun kedatangan orang beragama lain. Dalam keagamaan mereka tetap setia kepada agama yang telah dimiliki namun toleransi tetap tinggi, sebab mereka lebih berorientasi pada tujuan, bukan pada cara mencapai tujuan. Pada dasarnya manusia itu bertujuan satu, yaitu mencapai Tuhan, meskipun jalannya beraneka warna. Sikap toleransi itu tampak pula dalam hal perkawinan, yaitu sikap orang tua yang memberikan kebebasan bagi para putra-putrinya untuk memilih calon istri atau suaminya. Pada dasarnya perkawinan bersifat bebas. Mereka tetap dapat menerima apabila anak-anaknya ada yang berumah tangga dengan wanita atau pria yang berlainan agama sekalipun. Namun dalam hal melaksanakan adat, pada umumnya para generasi muda masih tetap melakukannya sesuai dengan adat kebiasaan orang tuanya.
Sikap hidup masyarakat Tengger yang penting adalah tata tentrem (tidak banyak risiko), aja jowal-jawil (jangan suka mengganggu orang lain), kerja keras, dan tetap mempertahankan tanah milik secara turun-temurun. Sikap terhadap kerja adalah positif dengan titi luri-nya, yaitu meneruskan sikap nenek moyangnya sebagai penghormatan kepada leluhur.
Sikap terhadap hasil kerja bukanlah semata-mata hidup untuk mengumpulkan harta demi kepentingan pribadi, akan tetapi untuk menolong sesamanya. Dengan demikian, dalam masyarakat Tengger tidak pernah terjadi kelaparan. Untuk mencapai keberhasilan dalam hidup semata-marta diutamakan pada hasil kerja sendiri, dan mereka menjauhkan diri dari sikap nyadhang (menengadahkan telapak tangan ke atas).
Masyarakat Tengger mengharapkan generasi mudanya mampu mandiri seperti ksatria Tengger. Orang tua tidak ingin mempunyai anak yang memalukan, dengan harapan agar anak mampu untuk mikul dhuwur mendhem jero, yaitu memuliakan orangtuanya. Sikap mereka terhadap perubahan cukup baik, terbukti mereka dapat menerima pengaruh model pakaian, dan teknologi, serta perubahan lain yang berkaitan dengan cara mereka mengharapkan masa depan yang lebih baik dan berkeyakinan akan datangnya kejayaan dan kesejahteraan masyarakatnya.
6.       Siklus Hidup Menurut Falsafah Tengger
Ada 3 (tiga) tahap penting siklus kehidupan menurut pandangan masyarakat Tengger, yakni:
1.     umur 0 sampal 21 (wanita) atau 27 (pria), dengan lambang bramacari yaitu masa yang tepat untuk pendidikan;
2.     usia 21 (wanita) atau 27 (pria) sampai 60 tahun lambing griasta, masa yang tepat untuk membangun rumah dan mandiri;
3.     60 tahun ke atas, dengan lambang biksuka, membangun diri sebagai manusia usia lanjut untuk lebih mementingkan masa akhir hidupnya.
Pada masa griasta ada ungkapan yang berbunyi kalau masih mentah sama adil, kalau sudah masak tidak ada harga, yang dimaksudkan adalah hendaklah manusia itu pada waktu mudanya bersikap adil dan masa dewasa menyiapkan dirinya untuk masa tuanya dan hari akhirnya.
7.       Pertunangan dan Perkawinan
Pada umumnya masyarakat Tengger mempunyai pendirian yang cukup bermoral atas perkawinan. Poligami dan perceraian boleh dikatakan tidak pernah terjadi. Perkawinan di bawah umur juga jarang terjadi. Dalam pertunangan (pacangan), lamaran dilakukan oleh orangtua pria. Sebelumnya didahului dengan pertemuan antara kedua calon, atas dasar rasa senang kedua belah pihak. Apabila kedua belah pihak telah sepakat, maka orangtua pihak wanita (sebagai calon) berkunjung ke orangtua pihak pria untuk menanyakan persetujuannya atau notok. Selanjutnya apabila orangtua pihak pria telah menyetujui, diteruskan dengan kunjungan dari pihak orangtua pria untuk menyampaikan ikatan (peningset) dan menentukan hari perkawinan yang disetujui oleh kedua belah pihak. Sesudah itu barulah upacara perkawinan dilakukan.
Sebelum acara perkawinan biasanya telah dimintakan nasihat kepada dukun mengenai kapan sebaiknya hari perkawinan itu dilaksanakan. Dukun akan memberikan saran (menetapkan) hari yang baik dan tepat, papan tempat pelaksanaan perkawinan, dan sebagainya. Setelah hari untuk upacara perkawinan ditentukan, maka diawali selamatan kecil (dengan sajian bubur merah dan bubur putih). Sebagai kelengkapan upacara perkawinan, maka pasangan pengantin diarak (upacara ngarak) keliling, diikuti oleh empat gadis dan empat jejaka dengan diiringi gamelan. Pada upacara perkawinan pengantin wanita memberikan hadiah bokor tembaga berisi sirih lengkap dengan tembakau, rokok dan lain, sedangkan pengantin pria memberikan hadiah berupa sebuah keranjang berisi buah-buahan, beras dan mas kawin.
Pada upacara asrah pengantin, masing-masing pihak diwakili oleh seorang utusan. Para wakil mengadakan pembicaraan mengenai kewajiban dalam perkawinan dengan disaksikan oleh seoran dukun. Pada upacara pernikahan dibuatkan petra (petara: boneka sebagai tempat roh nenek moyang) supaya roh nenek moyangnya bisa hadir menyaksikan. Biasanya setelah melakukan perkawinan kemanten pria harus tinggal dirumah (mengikuti) kemanten wanita.
8.       Hak Waris
Pada dasarnya masyarakat Tengger mempertahankan hak waris tanah untuk anak keturunan mereka saja. Apabila ada keluarga yang terpaksa menjual hak tanah, diusahakan untuk dibeli oleh keluarga yang terdekat. Pewarisan kepada anak-turunannya ditentukan oleh kerelaan pihak orang tua, bukan atas dasar aturan ketat yang dibakukan.
9.       Tata Rumah
Rumah penduduk Tengger dibangun di atas tanah, yang sedapat mungkin dipilih pada daerah datar, dekat air, atau kalau terpaksa dipilih tanah yang dapat dibuat teras, dan jauh dan gangguan angi. Rumah-rumah letaknya berdekatan atau menggerombol pada suatu tempat yang dapat dimasuki dan berbagaf jurusany yang dihubungkan dengan jalan sempit atau gak lebar antara satu desa dengan desa lain. Desa induk yang disebut Jcrajan biasa-nya terletak di tengah dengan jaringan jalan-jalan yang menghubungkan dengan desa lain. Pembangunan sebuah rumah selalu diawali dengan selamatan, demikiah pula apabila bangunan telah selesai diadakan selamatan lagi. Pada setiap bangunan yang sedang dikejakan selalu terdapat sesajen, yang digantungkan pada tiang-tiang, berupa makanan, ketupat, lepet, pisang raja dan lain-lain. Bangunan rumah orang Tengger biasanya luas sebab pada umumnya dihuni oleh beberapa keluarga bersama-sama, Ada kebiasaan bahwa seorang pria yang baru saja kawin akan tinggal bersama mertuanya. Tiang dan dinding rumahnya terbuat dan kayu dan atapnya terbuat dan bambu yang dibelah. Setelah bahan itu sulit diperoleh, dewasa ini masyarakat telah mengubah kebiasaan itu dengan menggunakan atap dan seng, papan atau genteng.
Alat rumah tangga tradisional yang hingga sekarang pada umumnya masih tetap ada adalah balai-balai, semacam dipan yang ditaruh di depan rumah. Di dalam ruangan rumah itu disediakan pula tungku perapian (pra pen) yang terbuat dan batu atau semen. Perapian ini kurang lebih panjangnya 1/4 dari panjang ruangan yang ada. Di dekat perapian terdapat tempat duduk pendek terbuat dari kayu (dingklik bhs jawa) yang meliputi kurang lebih separuh dan seluruh ruangan. Apabila seorang tamu di terima dan dipersilakan duduk di tempat ini menunjukkan bahwa tamu tersebut diterima dengan hormat.
Selain digunakan untuk penghangat tubuh bagi penghuni rumah, perapian juga dimanfaatkan untuk mengeringkan jagung, atau bahan makan lainnya yang memerlukan pengawetan dan ditaruh di atas paga. Dekat tempat perapian itu terdapat pula alat-alat dapur, lesung, dan tangga. Halaman rumah mereka pada umumnya sempit (kecil) dan tidak ditanami pohon-pohonan. Di halaman itu pula terdapat sigiran, tempat untuk menggantungkan jagung yang belum dikupas. Selain itu, sigiran dimanfaatkan untuk menyimpan jagung, sehingga juga berfungsi sebagai lumbung untuk menyimpan sampai panen mendatang.
B.    KEBUDAYAAN MASYARAKAT TENGGER
1.                Agama Masyarakat suku tengger
   Agama masyarakat suku Tengger adalah agama hindu yang masih mewarisi tradisi hindu sejak zaman kejayaan majapahit. Namun saat ini juga masyarakat tersebut yang menganut agama lain yaitu: Islam, Kristen Protestan, Khatolik serta Budha. Walaupun orang Tengger beragama Hindu, mereka tidak dapat dapat dianggap sebagai kelompok etnis berbeda dari orang jawa yang lain. Mereka adalah orang Hindu tetapi tidak melakukan pembakaran mayat seperti orang Hindu di Bali. Namun demikian, selama sejarah manusia Tengger daerahnya dikurangi oleh orang pendatang yang beragama Islam dari daerah lain di Jawa. Sampai tengah abad 19 kebanyakan desa-desa Tengger lebih rendah dari 1400m dikuasai oleh pendatang yang beragama Islam. Upacara yang terkenal adalah upacara kasada terkenal hingga manca Negara dan selalu ramai dihadiri banyak turis luar negeri maupun lokal.
2.                Upacara Keagamaan Masyarakat Suku Tengger
a.  Pujan Karo (Bulan Karo)
 
 Upacara Karo
Hari raya terbesar masyarakat Tengger adalah upacara karo atau hari raya karo diawali tanggal 15 kalender saka Tengger. Masyarakat menyambutnya dengan penuh suka cita, mereka mengenakan pakaian baru, kadang pula membeli pakain hingga 2-5 pasang, perabotan pun juga baru. Makanan dan minuman pun juga melimpah pada adat ini masyarakat suku tengger juga melakukan anjang sana (silaturrahmi) kepada semua sanak saudara, tetangga semua masyarakat Tengger. Uniknya tiap kali berkunjung harus menikamati hidangan yang diberikan oleh tuan rumah. Tujuan penyelenggaraan upacara karo ini adalah: mengadakan pemujaan terhadap Sang Hyang Widhi Wasa dan menghormati leluhurnya, memperingati asal-usul manusia, untuk kembali pada kesucian, dan untuk memusnahkan angkara murka.
 b.  Pujan Kapat (Bulan Keempat)
Upacara kapat jatuh pada bulan keempat (papat) menurut tahun saka disebut pujan kapat, bertujuan untuk memohon berkah keselamatan serta selamat kiblat, yaitu pemujaan terhadap arah mata angin yang dilakukan bersama- sama disetiap desa (rumah kepala desa) yang dihadiri para pini sepuh desa, dukun, dan masyarakat desa.
c.   Pujan Kapitu (Bulan Tujuh)
Pujan kapitu (bulan tujuh), semua pini sepuh desa dan keharusan pandita dukun melakukan tapa brata dalam arti diawali dengan pati geni (nyepi) satu hari satu malam, tidak makan dan tidak tidur. Selanjutnya diisi dengan puasa mutih (tidak boleh makan makanan yang enak), biasanya hanya makan nasi jagung dan daun – daunan selama satu bulan penuh. Setelah selesai ditutup satu hari dengan pati geni. Pada bulan kapitu ini masyarakat suku tengger tidak diperbolehkan mempunyai hajat.
d.  Pujan Kawolu
Upacara ini jatuh pada bulan kedelapan (wolu) tanggal 1 tahun saka. Pujan kawolu sebagai penutipan megeng. Masyarakat mengirimkan sesaji ke kepala desa, dengan tujuan untuk keselamatan bumi, air, api, angin, matahari, bulan dan bintang. Pujan kawolu dilakukan bersama dirumah kepala desa.
e.  Pujan Kasangan
Upacara ini jatuh pada bulan kesembilan (sanga) tanggal 24 setelah purnama tahun saka. Masyarakat berkeliling desa dengan membunyikan kenyongan dan membawa obpr. Upacara diawali oleh para wanita yang mengantarkan sesaji ke kepal desa, untuk dimantrai oleh pendeta, selanjutnya pendeta dan para sesepuh desa membentuk barisan, berjalan mengelilingi desa. Tujuan mengadakan upacara ini adalah memohon kepada Sang Hyang Widi Wasa untuk keselamatan masyarakat tengger. Masyarakat bersama anak – anak keliling desa membawa alat kesenian dan obor.
f.    Kasada (Bulan Dua Belas)
Upacara kasada dilaksanakan tnggal 14 dan 15 dilakukan di ponten pure luhur, semua masyarakat tengger berkumpul menjelang pagi. Tidak hanya masyarakat Tengger yang beragama Hindu saja, tetapi semua masyarakat Tengger yang beragama lainnya. Setelah upacara, melabuhkan sesaji berupa hasil bumi yang sudah dimantrai dukun kekawah gunung Bromo. Tidak hanya upacara saja tetapi juaga bermusyawarah dan bersilaturrahmi dengan dukun dan masyarakat Tengger. Upacara dilaksanakan pada saat purnama bulan kasada (ke dua belas) tahun saka, upacara ini juga disebut dengan hari Raya Kurba. Biasanya lima hari sebelum upacara Yadnya kasada, diadakan berbagai tontonan seperti: tari-tarian, balapan kuda di lautan pasir, jalan santai, pameran. Sekitar pukul 05.00 pendeta dari masing-masing desa, serta masyarakat tengger mendaki gunung Bromo untuk melempar kurban (sesaji) ke kawah gunung bromo. Setelah pendeta melempar ongkeknya (tempat sesaji) baru diikuti oleh masyarakat lainnya.
g.  Upacara Unan-unan
Upacara ini di adakan hanya tiap lima tahun sekali. Unan-unan adalah tahun panjang (seperti tahun kabisat) melakukan upacara ngurawat jagat, mensucikan hal-hal yang tidak baik dengan mengorbankan kerbau. Unan yaitu menagrungi bulan. Tujuan unan-unan yaitu untuk mengadaksn penghormatan terhadap roh leluhur. Dalam acara ini selalu diadakan acara penyembelihan binatang ternak yaitu kerbau. Kepala kerbau dan kulitnya diletakkan diatas ancak besar yang terbuat dari bambu, diarak kesanggar pamujan.
h.  Upacara yang dilakukan secara individu:
1)     Upacara tujuh bulanan (sayut) dipimpin oleh pandita dukun.
2)     Upacara indungi anak, anak yang menginjak masa remaja.
3)     Upacara Tugel Gombak (laki-laki) dan Tugel Kuncung (perempuan), memotong sedikit rambut sekitar pusar rambut anak-anak yang menginjak usia 5 tahun.
4)     Upacara Ngruwat, jika ada saudara 2 laki-laki atau salah satu anak laki-laki dan perempuan atau anak tunggal.
5)     Upacara Kawiahan (kawin), upacara ini sama halnya dengan ijab Kabul.
6)     Upacara Wala gara (Temu Manten).
7)     Upacara Mendirikan Rumah.
8)     Upacara Kematian, minimal 4 hari setelah meningggal dilakukan upacara untas-untas (roh orang meningggal diharapkan kembali pada pemiliknya).
i.    Upacara Entas – Entas
Yakni upacara kematian yang terakhir kali dan perkawinan. “Waktu sekarang ini merupakan hari-hari baik bagi masyarakat Tengger untuk melaksanakan entas-entas dan perkawinan. Upacara entas-entas oleh masyarakat Tengger seperti halnya upacara pembakaran mayat (Ngaben) di Bali. Bedanya, di masyarakat Tengger yang dibakar adalah boneka dari yang meninggal dunia.
3.                Tempat Keagamaan Masyarakat Suku Tengger
Pemeluk agama Hindu suku Tengger tidak sama dengan pemeluk agama Hindu pada umumnya, mereka memiliki candi-candi tempat peribadatan, namun bila melakukan peribadatan bertempat di Punden, danyang dan Poten. Poten merupakan sebidang lahan di lautan pasir sebagai tempat berlangsungnya upacara kasada. Sebagai tempat pemujaan bagi masyarakat Tengger yang beragama Hindu, Poten terdiri dari beberapa bangunan yang ditata dalan suatu susunan komposisi dipekarangan yang dibagi tiga mandala/zone yaitu:
a.  Mandala utama
Disebut juga jeroan yaitu tempat pelaksanaan pemujaan persembahyangan yang terdiri dari:
·      Padma berfungsi sebagai tempat pemujaan Tuhan Yang Maha Esa. Bentuknya serupa candi yang dikembangkan lengkap dengan pepalihan.
·      Bedawang Nala melukisakan kura-kura raksasa mendukung padmasana, dibelit oleh seekor atau dua ekor naga, garuda dan angsa posisi terbang di belakang badan padma yang masing-masing menurut mitologi melukiskan keagungan bentuk dan fungsi padmasana.
·      Bangunan sekepat (tiang empat) fungsinya untuk penyajian sarana upacara atau aktifitas serangkaian upacara. Bale pawedan serta tempat dukun sewaktu melakukan pemujaan.
·      Kori Agung Candi Bentar, bentuknya mirip dengan tugu kepalanya memakai gelung mahkota segi empat yang bertingkat- tingkat mengecil ke atas.
b.  Mandala madya
Disebut juga jaba tengah, tempat persiapan dan pengiring upacara terdiri dari:
·      Kori Agung Candi Bentar, bentuknya serupa dengan tugu, kepalanya memakai gelung empat bertingkat-tingkat mengecil ke atas dengan bangunan bujur sangkar.
·      Bale kentongan letaknya disudut depan pekarangan pura, bentuknya ssusunan tepas, batur, sari dan atap penutup ruangan kentongan. Fungsinya untuk tempat kentongan yang dibunyikan di awal, akhir dan saat tertentu dari rangkaian upacara.
·      Bale bengong, disebut juga pawerangan suci letaknya diantara jaba tengah, mandala nista. Bentuk bangunannya empat persegi. Fungsinya untuk mempersiapkan keperluan sajian upacara yang perlu dipersiapkan di pura yang umumnya jauh dari desa tempat pemukiman.
c.   Mandala Nista
Disebut juga jaba sisi yaitu tempat peralihan dari luar kedalam pura yang terdiri dari bangunan candi bentar penunjang lainnya. Pekarangan pura dibatasi oleh tembok penyengker batas pekarangan pintu masuk di depan dan pitu masuk ke jeroan utama memaki kori Agung. Tembok penyengker candi bentar dan kori agung ada berbagai bentuk variasi dan kreasinya sesuai dengan keindahan arsitekturnya. Bangunan pura pada umumnya menghadap ke barat, memasuki pura menghadap ke arah timur demikian pula pemujaan dan persembahyangan menghdap kea rah timur kea rah yrbitnya matahari. Komposisi masa – masa bangunan pura berjajar antara selatan menghadap ke barat dan sebagian di sisi utara menghadap selatan (menurut bpk.Soedja’i).
d.  Posesi Upacara Kasada
   Upacara ini dilaksanakan setahun sekali oleh masyarakat hindu tengger yang mendiami 41 desa pada 4 kecamatan di Probolinggo, Lumajang, Malang, dan Pasuruan. Upacara kasada diadakan mulai tengah malam hingga dini hari, dan persiapannya dilaksanakan sejak 24.00 WIB bergerak mulai di depan rumah dukun (pendeta) Mujono, dan sampai ke pantai p[asir di pura Agung Puten kira-kira pukul 04.00 WIB. Menjelang menjelang matahari terbit yang disebut dengan Surya Serwana. Pada pukul 05.00 WIB upacara kasada dilaksanakan dengan terlebih dahulu dilakukan ritual di pura puten yang dilnjutkan turun menuju kawah gunung Bromo yang berjarak 2 km untuk melakukan ritual sesaji yang terdiri dari dua unsur penting, yaitu kepala bungkah dan kepala gantung. Kepal bungkah itu artinya buah-buahan yang berasal dari tanah seperti kentang dan ketela, serta kepala gantung yaitu buah-buahan yang bergantung. Ritual sesaji itu merupakan sesembahan sebagai ciri utama kehidupan dari masyarakat tengger, kecuali ada secara spesifik yang memiliki permohonan khusus, biasanya korbannya yaitu ayam atau kambing ini, yang khusus mau jadi pejabat. Pada pengambilan sesajen para pengambil sesajen memakai gala dari kain goni, banyak tamu yang melemparkan sesajen ke kawah gunung bromo. Namun adapula yang mengambil uang ke dalam kawah tersebut. Pada upacara kasada petani juga melemparkan hasil pertaniaanya ke dalam kawah. Orang yang mengambil lemparan tidak boleh hanya mengambil satu kali, tetapi harus tujuh kali berturut-turut. Apabila melanggar maka orang tersebut mendapatkan musibah, seperti sakit. Cara penyembuhannya adalah dengan cara meminta maaf dan juga membuat acara ruwatan (bpk. Sugik).
e.  Dukun Masyarakat Suku Tengger
Dukun tengger berbeda dengan dukun Jawa yang lain, mereka mempunyai tujuan menjaga kebudayaan dan melakukan upacara-upacara tradisional. Dalam setiap desa Tengger ada dukun diatas mereka ada satu dukun yang mengurus semua acara keagamaan, bernama “Lurah Dukun”. Walaupun agama masyarakat Tengger masih kuat, saat ini dalam desa-desa Tengger juga ada penduduk beragama Islam dan Kristen. Lurah Dukun dirumahnya melakukan semeninga. Semeninga itu adalah prsiapan untuk upacara-upacara bertujuan untuk beritahu para dewa-dewa sesaji akan dimulai. Kemudian satu hari setelah itu baru sebelum para dukun turun sampai LAut Pasir mereka melakukan semeninga lagi. Kemudian para dukun berjalan sampai potenyang terletak di kaki Gunung Bromo. Sementara massa berkumpul di Laut Pasir sekitar Poten itu siap untuk memulai upacaranya. Pada tengah malam upacara Kasada mulai dengan Lurah Dukun menceritakan tentang Legenda Kasada dan berdoa kepada dewa Gunung Bromo dan dewa Kusuma. Pula kalau ada dukun baru dia akan diresmikan oleh dukun lainnya pada saat itu. Pemilihan dukun baru dengan cara demokrasi, dukun yang baru tersebut merupakan dukun yang dipilih yang sudah banyak hafal mantra keagamaan.
f.    Legenda Kasada
Gunung Bromo tidak dapat dipisahkan dari sistem kepercayaan mastarkat suku Tengger. Legenda kasada adalah merupakan cikal bakal rakyat Tengger dan menggambarkan hubungan manusia dan makhluk halus gunung Bromo. Dalam legenda kasada makhluk halus gunung Bromo tidak memilki namA sendiri tetapi di panggil oleh nama Sang Yang Widhi. Cikal bakal Tengger dalam ceritanya digambarkan sebagai asal – usulnya dari kerajaan majapahit dari sebelum keturunan kerajaan Hindu-Budha di jawa. Tujuan legenda kasada adalah bahwa suatu nenek monyang Tengger bernama “Dewa Kusuma” anak dari “Joko Seger” dan “Rara Anteng” mengorbankan jiwanya untuk keluarganya dan orang Tengger. Akibatnya adalah perjanjian di antara roh leluhur “Dewa Kusuma”dan orang Tengger untuk memberi sesajian setiap tanggal 14 bulan kasada dalam ketanggalan Tengger. Upacara sesajian itu bernama “Upacara Kasada” dan diikuti oleh orang Tengger satu tahun sekali sampai sekarang. Dalam permulaan legenda kasada ada tiga peran pokok. Yang pertama bernama ‘Kyai Dadap Putih’ suatu dukun dari kerajaan majapahit. Dia datang ke daerah Tengger bertujuan bersemedi. Peran yang kedua adalah orang perempuan muda bernam “Rara Anteng” pula datang dari kerajaan majpahit.dia datang ke daerah Tengger untuk mencari ayahnya yang menjadi hilang dan sambil semedi di gunungnya. Peran ketiga adalah “‘Joko Seger” orang dari desa di daerah gunungnya. Dia pula mencari orang, pamannya yang hilang sambil semedi di gunungnya. “Kyai Dadap Putih” bertemu dengan “Rara Anteng” dan mengangkat dia sebagai anaknya. Saat “Rara Anteng” bersemedi dia bertemu dengan “Joko Seger” .(diceritakan oleh Bpk.Soedja’i)
4.          Pusaka yang di miliki oleh Suku Tengger
   Jimat Klonthongan / Jodang Wasiat
Jimat Klonthong / Jodang wasiat jumlahnya ada dua, yang pertama disimpan oleh masyarakat Suku Tengger Brang Wetan tepatnya di Desa Ngadisari Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo.bentuknya berupa kotak terbuat dari kayu.Sedang Jimat Klonthong / Jodang Wasiat yang kedua disimpan di wilayah Brang Kulon yaitu di Desa Tosari Kecamatan Tosari Kabupaten Pasuruan dan bentuknya berbeda dengan yang ada di wilayah brang wetan yaitu berbentuk bumbung terbuat dari kayu.
Kedua Jimat Klonthong / Jodang Wasiat tersebut merupakan benda warisan nenek moyang ( Joko Seger dan Loro Anteng ) berisi gayung, sarak, sodar, tumbu, cepel, Ontokusumo sejenis pakaian nenek moyang, dan sejumlah uang satak (uang logam kuno). Termasuk mantra-mantra yaitu mantra Purwobumi dan mantra Mandala Giri.
   Lontar (keropak)
Di Tengger masih terdapat lontar (keropak) sebanyak 21 ikat, berisi tulisan Jawa lama, yang orang Tengger sendiri tidak bisa membacanya.
Pusaka TRISULA yaitu berbentuk Tombak yang mempunyai ujung mata tiga.
5.                Peralatan Upacara
Baju Adat Tengger Hitam, sehelai kain baju tanpa jahitan,Udeng dan kain Selempang berwarna kuning. Hal ini sesuai dengan yang diperoleh sebagai warisan dari nenek moyang Suku Tengger. Prasen, berasal dari kata rasi atau praci (Sansekerta) yang berarti zodiak. Prasen ini berupa mangkuk bergambar binatang dan zodiak. Beberapa prasen yang dimiliki oleh para dukun berangka tahun Saka: 1249, 1251, 1253, 1261; dan pada dua prasen lainnya terdapat tanda tahun Saka 1275. Tanda tahun ini menunjukkan masa berkuasanya pemerintahan Tribhuwana Tunggadewi di Majapahit. Tali sampet, terbuat dari kain batik, atau kain berwarna kuning yang dipakai oleh Dukun Tengger.
Genta, keropak dan prapen, sebagai pelengkap upacara. 
 
 

Mencicipi Nikmatnya Nasi Aron, Makanan Khas Suku Tengger

Sepertinya pesona keindahan  Gunung Bromo yang ada di Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur itu sudah tidak bisa terbantahkan lagi bahkan banyak orang dari berbagai belahan dunia telah membuktikan keindahannya. Tapi sepertinya tidak lengkap rasanya jika berkunjung ke Gunung Bromo hanya menikmati keindahan saja, hal lain yang perlu dilakukan saat berada di Bromo adalah mencicipi nikmatnya nasi aron yang merupakan makanan asli Suku Tengger yang mendiami wilayah Tengger.
nasi_aron_tengger
Walaupun makanan ini bernama nasi aron, tapi ternyata bahan utama pembuat nasi aron bukan berasal dari beras melainkan jagung putih yang hanya bisa ditemukan di sekitar Gunung Bromo. Jagung tersebut harus dijemur dulu selama satu bulan sebelum diolah menjadi nasi aron. Setelah kering jagung tersebut kemudian dipipil dan ditumbuk sampai halus. Proses terakhir adalah dengan menyaring jagung sampai terpilih jagung yang benar-benar halus untuk dimasak menjadi nasi aron.
nasi_aron_tengger_1
Cara memasak nasi aron juga masih menggunakan cara tradisional. Nasi aron dimasak menggunakan tungku yang masih menggunakan kayu bakar sebagai perapiannya. Setelah matang, nasi aron dipotong menjadi kotak-kotak. Nasi aron disajikan bersama dengan lauk pauk yang sangat sederhana ala pedesaan seperti sambal terasi, ikan asin, dadar jagung, tempe, dan juga tahu goreng. Nasi aron lebih lezat jika disantap saat masih panas.
Tertarik? Salam traveler sejati!
nasi_aron_tengger_2
nasi_aron_tengger_3
nasi_aron_tengger_3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar